Seminggu berlalu dengan begitu
lambat, ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan Kwang Soo yang semakin membuat
tak nyaman. “Ada apa antara kau dan Chanyeol?”, “Kau tidak selingkuh di
belakang Kris, kan?”, “Kamu.. tidak boleh menyakiti Kris!”. Kamu.. Kamu.. Kwang Soo
selalu membrondong pertanyaan curiga terhadapku.
“Aku rindu Kris” ucapku ketika
Kwang Soo masih ngomel-ngomel gak jelas. Dia sejenak terdiam.
“Eun Ji, kau tak usah berbohong
padaku! Kau bohong, kan? Kau tak pernah mencintai Kris, kan?”
“Kwang Soo cukup!” Amarahku
memuncak, “Kau tak berhak mengatakan aku seperti itu! Kau tak tau bagaimana
rasanya jadi aku! Kau tak berhak menghakimiku sendiri!” teriakku kepadanya. Aku
berlari dengan peluh yang sendirinya mengalir deras di pipiku. Entah kenapa aku
menyesal telah membentak Kwang Soo, entah kenapa aku merasa perkataannya benar,
entah kenapa aku tak bisa… aku tak bisa… aku tak bisa mengatakannya… Kris,
Jeongmal mianhae.
“Lalu apa yang membuatmu cinta?” kataku
resah mencari suatu keyakinan dalam mata almondnya.
“Apa harus ada alasan untuk
seseorang mencintai?” suaranya serak-serak basah, bagai mengandung makna bahwa
ada makna di dalamnya.
“Aku tak bisa Oppa, mian” jawabku.
“Bahkan kau tak meminta waktu untuk
memikirkannya?” tanyanya, raut mukanya mencari alasan atas jawaban yang
kuberikan setelah permintaannya untuk menjadi seorang gadisnya.
“Oppa…” kataku.
“Aku yakin, sangat yakin. Kau pun
memiliki perasaan yang sama sepertiku. Hanya saja entah apa alasan kau berkata
begitu” Chan masih menatapku lekat-lekat. “Tapi aku tak bisa menerima bahwa
kamu sudah menolakku, Eun Ji-ya” lanjutnya. “Kan kuberikan waktu, kapan pun
itu, aku siap mendengar jawabanmu, setidaknya kamu sudah memikirkannya” ucapnya
lembut seraya tersenyum.
Aku tersenyum membuka kotak memori itu kembali yang sudah
susah payah kututup rapat. Aku merasa sekecil kuku yang patut dibuang dimana
saja, aku benci sahaabatku dan dia, aku benci Kwang Soo, bahkan sebaliknya
mereka semua membenci diriku sedangkan aku sangat membenci diriku sendiri. Aku
sepertinya serakah sekali, saat ada seseorang yang mencintaiku, aku malah sibuk
memikirkan masa lalu, sedangkan aku ingin dia kembali saat dia sedang bersama
sahabatku. Aku tergugu lagi. Aku ingin pergi dan lari dari semua ini, atau
menjadi amnesia!.
“Aku tau, kau akan kesini” Suara
berat itu menggema ditengah kesunyian malam dekat bukit Namsan tower. Aku
menoleh, tatapannya tertuju dengan kerlip lampu-lampu kota Seoul.
Aku berdiri, bahkan aku tak bisa
melihat wajahnya. Begitu menyakitkan, masih teringat perkataannya satu minggu
yang lalu.
“Tak Bisakah?” tanyanya. “Sekali
ini saja kau kau tak menghindariku” lanjutnya. Lalu dia memilih duduk di tanah,
dan menekukkan lututnya. Tatapannya masih tertuju dengan kerlip lampu-lampu
kota Seoul.
“Maaf, sepertinya aku harus
kembali” kataku..
“Mianhae…” ucapnya, “Tak seharusnya
aku berbicara kasar seperti itu kemarin” lanjutnya.
Aku hanya tersenyum kecut
mendengarnya. “Eun Ji-ya..” panggilnya seraya berdiri dan menghampiriku yang
sudah mengambil langkah lari, maksudku pergi.
Dia mendekat dan menatapku memohon.
Dorongan entah apa itu sehingga aku mau menemaninya duduk malam ini. “Sudah
lama” ucapnya, “Aku tak menikmati malam seperti ini, duduk hanya sekedar
memandang langit Seoul” lanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar