Jumat, 25 Desember 2015

추억 #4



Seminggu berlalu dengan begitu lambat, ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan Kwang Soo yang semakin membuat tak nyaman. “Ada apa antara kau dan Chanyeol?”, “Kau tidak selingkuh di belakang Kris, kan?”, “Kamu.. tidak boleh menyakiti Kris!”. Kamu.. Kamu..  Kwang Soo selalu membrondong pertanyaan curiga terhadapku.
“Aku rindu Kris” ucapku ketika Kwang Soo masih ngomel-ngomel gak jelas. Dia sejenak terdiam.
“Eun Ji, kau tak usah berbohong padaku! Kau bohong, kan? Kau tak pernah mencintai Kris, kan?”
“Kwang Soo cukup!” Amarahku memuncak, “Kau tak berhak mengatakan aku seperti itu! Kau tak tau bagaimana rasanya jadi aku! Kau tak berhak menghakimiku sendiri!” teriakku kepadanya. Aku berlari dengan peluh yang sendirinya mengalir deras di pipiku. Entah kenapa aku menyesal telah membentak Kwang Soo, entah kenapa aku merasa perkataannya benar, entah kenapa aku tak bisa… aku tak bisa… aku tak bisa mengatakannya… Kris, Jeongmal mianhae.
            “Lalu apa yang membuatmu cinta?” kataku resah mencari suatu keyakinan dalam mata almondnya.
            “Apa harus ada alasan untuk seseorang mencintai?” suaranya serak-serak basah, bagai mengandung makna bahwa ada makna di dalamnya.
            “Aku tak bisa Oppa, mian” jawabku.
            “Bahkan kau tak meminta waktu untuk memikirkannya?” tanyanya, raut mukanya mencari alasan atas jawaban yang kuberikan setelah permintaannya untuk menjadi seorang gadisnya.
            “Oppa…” kataku.
            “Aku yakin, sangat yakin. Kau pun memiliki perasaan yang sama sepertiku. Hanya saja entah apa alasan kau berkata begitu” Chan masih menatapku lekat-lekat. “Tapi aku tak bisa menerima bahwa kamu sudah menolakku, Eun Ji-ya” lanjutnya. “Kan kuberikan waktu, kapan pun itu, aku siap mendengar jawabanmu, setidaknya kamu sudah memikirkannya” ucapnya lembut seraya tersenyum.
Aku tersenyum  membuka kotak memori itu kembali yang sudah susah payah kututup rapat. Aku merasa sekecil kuku yang patut dibuang dimana saja, aku benci sahaabatku dan dia, aku benci Kwang Soo, bahkan sebaliknya mereka semua membenci diriku sedangkan aku sangat membenci diriku sendiri. Aku sepertinya serakah sekali, saat ada seseorang yang mencintaiku, aku malah sibuk memikirkan masa lalu, sedangkan aku ingin dia kembali saat dia sedang bersama sahabatku. Aku tergugu lagi. Aku ingin pergi dan lari dari semua ini, atau menjadi amnesia!.
“Aku tau, kau akan kesini” Suara berat itu menggema ditengah kesunyian malam dekat bukit Namsan tower. Aku menoleh, tatapannya tertuju dengan kerlip lampu-lampu kota Seoul.
Aku berdiri, bahkan aku tak bisa melihat wajahnya. Begitu menyakitkan, masih teringat perkataannya satu minggu yang lalu.
“Tak Bisakah?” tanyanya. “Sekali ini saja kau kau tak menghindariku” lanjutnya. Lalu dia memilih duduk di tanah, dan menekukkan lututnya. Tatapannya masih tertuju dengan kerlip lampu-lampu kota Seoul.
“Maaf, sepertinya aku harus kembali” kataku..
“Mianhae…” ucapnya, “Tak seharusnya aku berbicara kasar seperti itu kemarin” lanjutnya.
Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. “Eun Ji-ya..” panggilnya seraya berdiri dan menghampiriku yang sudah mengambil langkah lari, maksudku pergi.
Dia mendekat dan menatapku memohon. Dorongan entah apa itu sehingga aku mau menemaninya duduk malam ini. “Sudah lama” ucapnya, “Aku tak menikmati malam seperti ini, duduk hanya sekedar memandang langit  Seoul” lanjutnya.
Aku tersenyum, peluh itu lagi-lagi muncul dari mataku. Rasa apa ini, aku susah mengartikannya, malam ini rasa itu begitu menyelimutiku, apa ini rasa rindu? Atau rasa bahagia? Bahkan apakah ini rasa benci?

0 komentar:

Posting Komentar